Resepsi Pernikahan vs Kehidupan Rumah Tangga - Nasehat dari Yasmin Mogahed


Makna Pernikahan | Tahun ini kayaknya aku makin sering mendapat pertanyaan: “Kapan nikah?” zzz. Ada yang mengalami hal yang sama kah? Hmm, kadang untuk menjawab pertanyaan itu perlu dilihat dulu siapa yang nanya, karena ada yang sekedar basa-basi mencairkan suasana, tapi ada juga yang serius sambil ngegodain mau ngejodohin. Yah, dan aku pun nanggepinnya juga berubah-ubah, kadang cuma senyum dan gak dimasukkan ke hati, kadang jadi kebawa obrolan tentang pernikahan, atau kadang malah jadi sensitif dan mellow.

Obrolan tentang jodoh, pernikahan, dan rumah tangga, emang selalu menarik sih ya --terutama di usia “matang”, antara 20-30 tahun. Tapi aku ngerasa konsep yang bertaburan (kebanyakan) di dunia maya, khususnya media sosial membuat konsep pernikahan dan berumah tangga yang sesungguhnya jadi bias.

Maksudnya bias?
Dari telusur sana-sini, kebanyakan yang aku temui adalah persiapan menuju hari pernikahan. Apalagi kalau udah buka media sosial, yang kini didominasi memanjakan visual banget.
Berseliweran deh mulai dari contoh undangan yang unyu, souvenir yang unik, hantaran, dekorasi ruangan, photo booth, pre-wedding, make-up, wedding dress, lalala -you name it- banyak kali ya printilannya.
*tutup mata, harus selektif biar gak tergoda hawa nafsu*

Lalu bagaimana dengan persiapan hari-hari setelah pernikahan = hari-hari berumah tangga? 

Bukankah kalau dilihat dari segi rentang waktu, lebih lama berumah tangga dibanding hari resepsi yang (cuma) sehari?
Berarti persiapannya harus lebih matang, ya kan?
Tapi kenapa fenomena sekarang banyak orang yang terlalu sibuk dan fokus dalam mempersiapkan hari resepsi pernikahan?

Nggak, gak salah kok, itukan emang hari yang spesial...
Hari bahagia yang ingin dibagi berama orang-orang yang kita sayangi.
Tapi…jangan sampai karena mempersiapkan satu hari yang spesial itu, lalu membuat kita lupa mempersiapkan apa yang lebih penting untuk dipersiapkan, yaitu hari-hari setelah hari resepsi pernikahan.

Kajian Yasmin Mogahed ini menurutku pas banget untuk mengingatkan diri sendiri tentang wedding vs marriage. Kajian yang membuatku bertanya pada diri sendiri:

Sudah punya bekal apa untuk memasuki jenjang pernikahan? Beneran nih udah siap? #jleb

Yasmin Mogahed mengingatkan bahwa wedding day is not the end of the story.
Kalau di kisah dongeng klasik atau komik romantis, pada saat hari pernikahan biasanya ada kata-kata: “Happily Ever After”.
Ouch really? Kamu percaya nggak? Aku sih nggak...

Bahkan di kisah-kisah itu biasanya ditunjukan sebuah konsep bahwa sebelum menikah, hidup seseorang perempuan itu gak utuh.
*Menyedihkan amat ya…*
Benarkah konsep itu?
Mungkin kita tidak sadar, tapi ternyata konsep itu telah tertanam di dalam pikiran kita.
A wedding is seen as the end of something and like we were living incomplete in some way before it. It's what we learn from young. But it's not the case.
Coba kita ingat-ingat lagi 2 kisah klasik yang sampai kini masih sering di-remake: Cinderella dan Sleeping Beauty.

[Kisah Sleeping Beauty]
Ada seorang pangeran memasuki kastil, semua orang di kastil itu mati/koma. Dia terus berjalan menyusuri kastil, hingga sampai ke puncaknya, lalu menemukan seorang putri yang sangattt cantik (tapi udah mati juga sih). Makanya namanya sleeping beauty kan.
Pangeran itu sangat terpesona dengan kecantikan sang putri. Dia mendekatinya dan seketika jatuh cinta.
*hold on* 
Coba kita cek lagi ceritanya:
Putri tadi udah mati kan?
Kok bisa pangeran itu jatuh cinta?
Jatuh cintanya karena apa?
Masa jatuh cinta sama orang mati?
Emang sih katanya cinta itu buta, tapi tapi tapi...
Putri tadi tentu gak punya personality lagi (kan udah gak bernapas), pangeran juga gak tahu apakah hati sang putri secantik wajahnya, kalo jahat gimana? Masih cinta gak tuh?
*lanjut lagi*
Sang pangeran mendekat dan mencium sang putri.
*Hey!*
Ini aneh gak sih, mencium seseorang yang sudah mati/koma bahkan pangeran gak kenal sama putri itu.
Alasannya cuma karena dia cantik bangettt (?).
*lanjut lagi*
Sang putri jadi terbangun!
Karena ciuman sang pangeran, ia bisa hidup lagi.
*hmmm*
Dan cerita ini sangattt terkenal dari masa ke masa, telah dibacakan dan didengar oleh ratusan ribu bahkan jutaan anak perempuan kali ya, dapat kalian bayangkan gak efeknya?
Sebuah konsep yang secara gak sadar tertanam dalam diri seorang perempuan.
Konsep yang menyatakan bahwa hidup seorang perempuan itu gak lengkap kalau belum menemukan pendamping hidup.
Kehidupan seorang perempuan belum dimulai hingga seorang laki-laki mencium dan menikahinya, atau artinya "menyelematkannya".
*ouch*
Benarkah?
Kalian percaya juga gak dengan konsep itu?

Dan cerita ini hampir mirip dengan kisah dongeng klasik lainnya.

[Kisah Cinderella]
Cinderella itu pada dasarnya di-bully sama ibu tiri dan dua saudari tirinya.
Tapi dia gak bisa apa-apa. Completely helpless.
Dia gak melakukan apa-apa coba untuk menolong dirinya sendiri dari penindasan itu!
Dia pasif. Dia merasa tidak memiliki kekuatan untuk membela dirinya.
*Duh neng Cin, kok gak berusaha kabur gitu*
Lalu seorang ibu peri datang untuk menyelamatkannya!
Mengubah benda di sekitarnya menjadi gaun yang indah, kereta kuda yang mewah, dan sepatu kaca yang cantik.
Dan lagi-lagi seorang pangeran dengan mudahnya jatuh cinta, pada seorang perempuan yang sangat menawan, yang memakai gaun yang indah dan sepatu kaca yang cantik.
Padahal si pangeran belum tahu apa-apa tuh sama Cinderella, bagaimana personality-nya, apakah hatinya juga cantik (?).
*hmmm*
Coba bayangkan, pesan apa yang didapat dari seorang anak perempuan saat melihat/mendengar/membaca kisah ini.
Bisa jadi ini yang mereka dapatkan:
Jadi perempuan itu harus cantik, punya gaun dan sepatu yang indah.
Agar ada laki-laki yang tertarik untuk menikahimu.
Agar semua masalahmu selesai karena kamu akan "diselamatkan" oleh sang pangeran.
*Just it*
Cerita itu seolah-olah menyampaikan bahwa perempuan gak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dan juga gak dibahas tuh tentang akhlak, lagi-lagi fokusnya di penampilan fisik (aja).
*ouch*
Itukah yang ingin kita tanamkan pada anak-anak perempuan?
Lalu bagaimana dengan konsep Allah lah yang sesungguhnya menyelamatkan hidup kita?

Bagaimana konsep pernikahan dari sudut pandang Islam?

Kita sadari bersama bahwa iya menikah itu setengah dari agama. Tapi jangan sampai kita salah paham.
Ketika Rasulullah mengatakan bahwa menikah itu setengah dari agama, bukan berarti bagi yang belum menikah artinya tidah utuh sebagai manusia.

Do you get it?
Seperti Maryam yang Allah takdirkan tidak menikah tapi ia termasuk salah satu wanita muslim terbaik (selain Khadijah, Asiyah, dan Fatimah).
Marriage is completing half your Deen but it doesn't mean you were incomplete before that. Take Maryam for example, she was unmarried but still one of the most perfect women.
Jadi, jangan sampai kita merasa terganggu, galau berlebihan, gak bisa fokus beraktivitas, bahkan depresi gara-gara pertanyaan: “Kapan nikah?” #jleb
Allah tahu yang terbaik buat kita, yakinlah Dia akan mempertemukan kita dengan jodoh yang tepat dan pada waktu yang tepat. #selfreminder

Ada pertanyaan yang lebih mendasar dan penting untuk kita ‘khawatirkan’:
“Apa tujuanku diciptakan di muka bumi ini?”
*Apakah salah satunya untuk menikah? Hmm*

Kita semua, laki-laki dan perempuan, diciptakan di muka bumi ini untuk suatu tujuan.
Tujuannya adalah menjadi hamba Allah.
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).

Jadi tujuan utama kita diciptakan bukan untuk menjalani peran sebagai ayah/ibu/suami/istri/anak atau harus bekerja sebagai guru/penulis/peneliti/engineer/pengusaha/pekerjaan tertentu.

Kita diciptakan dengan tujuan utama: menyembah Allah, nah dengan cara apa?
Bisa dengan menjalani salah satu peran yang disebutkan di atas tadi.
Marriage is ONLY ONE of the many ways to get Allah SWT. There are many many ways to reach Allah SWT. Being a wife, mother, etc is only one way...if you don't have this path, it does not mean you are not fulfilling your ultimate purpose.
Tapi kalau kita hanya fokus bahwa harus menjadi pasangan seseorang dulu baru hidup kita lengkap, nah itulah masalahnya, kita lupa tujuan utama penciptaan kita hidup di bumi.
Kita sibukkk berkutat dengan penampilan fisik agar terlihat cantik di depan laki-laki, terus diajak menikah.

Padahal ada banyak jalan loh untuk menjadi hamba Allah.
Nah salah satunya adalah dengan menikah.
Ingat ya bukan satu-satunya tapi salah satunya.
Menikah bukanlah tujuan utama penciptaan kita di muka bumi. Allah gak pernah menyebutkan hal itu.

Jadi buat yang belum menikah #notetomyself, carilah jalan yang lain dulu agar tetap berusaha menjadi hamba-Nya yang baik. 
***

REACHING ALLAH AND PLEASING ALLAH

Apabila kita melihat ada wanita yang sudah berumur tapi tidak menikah atau menikahnya telat, bukan berarti ia tidak bisa mencapai tujuan hidup utamanya.
Kita juga dapat melihat wanita-wanita utama dalam Islam, tidak semuanya menikah. Ini karena Allah ingin menunjukkan kalau menikah jangan dijadikan fokus utama.
Contohnya:
Asiyah menikah dengan penguasa tirani terkejam sepanjang masa, Firaun.
Maryam tidak pernah menikah tapi memiliki anak.
Dari contoh tersebut, Allah ingin mengingatkan kita untuk menempuh berbagai cara untuk mendekati-Nya.

P E R N I K A H A N

Apa sih tujuan pernikahan?
Ada di hampir setiap undangan pernikahan:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Rum: 21)

Sekarang kita coba merefleksikan ayat tersebut melalui analogi berikut:

Ketika kita mengendarai mobil lalu kita melihat rambu lalu lintas.
Apa sih fungsi rambu itu?
Directs you, points you, guides you.
Mengarahkanmu ke suatu arah.
Jadi yang kamu lakukan pergi ke arah yang ditunjukkan rambu itu kan?
Bukan malah pergi dan diam di titik rambu itu kan? Hehe.
Iya, karena rambu itu petunjuk arah, bukan tujuan kita.

Begitu juga dengan menikah.
Menikah adalah petunjuk untuk membuat kita mencapai tujuan, menikah bukan tujuan utama kita.
Jadi apa tujuan utama kita? ALLAH.

The relationship between husband and wife is just a sign or a guidance or pointer to Allah SWT. But it is not the destination. It's just a path that could take you to Allah SWT. BUT THE STORY DOES NOT END AT THE WEDDING. Living happily ever after does not work that way. Your end is Allah SWT, marriage is just one of the means. That's it.

Pertanyaan selanjutnya adalah
Bagaimana menciptakan kedamaian dan kestabilan dalam suatu hubungan pernikahan?

Harus ada mawaddah.
Apa itu mawaddah?
Mawaddah memiliki dua makna dalam bahasa Arab, yaitu Love and Hope.
Ini diambil dari nama Allah Al-Wadud.
Artinya mengekspresikan cinta.
It is not just say love, but also express love.
Express love ini bukan seperti saat honeymoon, memberikan bunga, coklat, or something like that. No!
Mawaddah is not just feeling love, like you said “I love you, my dear!”.
Mawaddah is express love.
Allah SWT always connects belief with good action/deeds in the Quran. So what is in the heart needs also to be translated into action. 
Examples: I don't only wear my hijab in my heart...I also wear it on my head. 
You have to show your love if you want the relationship to keep going. 

Our love to God must express.
Kita tidak hanya berhijab di hati.
Hijab juga di fisik.
Kita tidak hanya berdoa di hati.
Berdoa juga secara fisik = sholat.

Penjelasan di atas juga sama halnya dengan rasa cinta pada pasangan, tidak hanya diucapkan tapi harus diekspresikan juga dengan sebuah aksi.
Express love dulu maka mawaddah datang diiringi dengan: rahmah, mercy, compassion, care, and emphaty.
If you don't express love, then how will you get through? This is a part of keeping your relationship strong. If you don't show it or do anything to express it...if it doesn't show in your actions...the relationship will not work.
Mengekspresikan cinta merupakan tanda bagi orang-orang yang berpikir, yang mau berefleksi, yang mau memahami.
Karena Allah memulai ayat tersebut dengan “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ….” (QS Ar-Rum: 21)

MARRIAGE IS NOT DESTINATION
If we understand it, we change our frame about marriage.
We will prapare for the marriage, not for the wedding.
It is not the end, it is the beginning.

Kesalahpahaman lainnya adalah ketika kita menikahi seseorang kemudian kita beranggapan orang itu akan melengkapi kita dan akan membuat kita bahagia selamanya.
Ketika kita memulai sesuatu hubungan dengan tangan kosong dan berharap akan mendapatkan banyak hal dari calon pasangan, maka itu bisa menjadi sebuah “bencana”.

Coba kita ingat lagi penjelasan tentang marriage di atas. Pernikahan merupakan salah satu jalan untuk membuat kita menuju Allah.

The purpose for marriage is for your spouse to make you become a better person, to help you improve yourself, to help you get to Jannah - This is how you complete the other half of your Deen. [Your spouse will help you to built your character. Everything else will be a consequence of you becoming better. Love, romance, attraction, everything else become much stronger because of how the other person makes you feel about yourself while improving yourself.

Kita juga memiliki harapan agar keluarga yang kita miliki dapat menyejukkan mata.
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqon: 74).

Tapi lagi-lagi doa di atas bukanlah tujuan utama kita. Bukan tugas pasangan dan katurunan kita untuk membuat kita bahagia dan merasa utuh. Tugas mereka adalah membuat diri kita menjadi seseorang yang lebih baik.
*2 hal tadi sangat-sangat berbeda ya*

THE MARRIAGE IS NOT AN END, IT IS THE BEGINNING.
When you see the marriage as a path and not an end then you see things differently. When you think a person will give you fulfilment, importance, confidence, happiness, satisfaction, then most of the time you will be disappointed.

Kalau kita menikah dengan tujuan untuk mengisi kekosongan dalam hati, maka jika pasangan kita ternyata tidak sesuai harapan, dapat dipastikan ego kita akan memberontak.
*Ini bisa jadi salah satu penyebab tingkat perceraian yang tinggi*

Dan sebaliknya, ketika kita menikah dengan tujuan untuk mencari pleasure of Allah, maka cara kita berinteraksi dengan pasangan tentu akan berbeda.
*Iya, ini pasti gak mudah sih, ujian level tinggi*

Misalnya nih dalam hubungan pernikahan atau pertemanan, kita telah merasa memberi banyaaak pada pasangan/teman kita. Kemudian kita berharap juga akan ada timbal balik, menerima banyak kebaikan darinya. Tapi ujung-ujungnya seringkali berakhir menjadi kekecewaan. Bahkan ucapan terima kasih pun nggak kita dapatkan. Kita makin kecewa. Gak ada yang mengakui kebaikan kita.
Sering terjadi kan?

Rasulullah mengatakan siapa yang tidak berterima kasih pada orang yang telah memberinya kebaikan itu artinya ia juga tidak berterima kasih pada Allah.
*Astaghfirullah… Semoga kita termasuk orang-orang yang berterima kasih ya.

Kita harus ingat bahwa ketika kita melakukan kebaikan tapi gak ada yang menyadarinya, gak ada yang berterima kasih, dan gak ada mengapresiasi. Percayalah ada Allah! Allah selalu mengapresiasi kebaikan yang kita lakukan. Sekecil apapun!

Jadi kalau misalnya ada sesuatu yang mengganjal hati kita pada pasangan, tetaplah berbuat baik dan niatkan ini adalah untuk Allah, “ini kulakukan karena Allah”.
Juga lakukan hal yang sama pada orang lain.

Inilah yang seharusnya kita lakukan dalam sebuah hubungan, inilah yang seharusnya menjadi fokus kita, lakukan demi Allah.
Bahkan ketika kita merasa sangat kecewa tidak ada yang menyadari kebaikan yang telah kita lakukan, percayalah Allah selalu mengawasi kita, Allah tahu apa saja yang telah kita lakukan, Allah akan memberi balasan itu semua kepada kita.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8). 

Jadi untuk menciptakan kedamaian dan kestabilan dalam suatu hubungan pernikahan, pasangan suami dan istri harus memiliki pandangan yang jelas tentang tujuan hidup. Ultimate purpose of married is sake of Allah.

Jadi teringat quote Eyang Habibie:
Cinta tidak berupa tatapan satu sama lain, tetapi memandang keluar bersama ke arah yang sama.

MARRIAGE: ENCOURAGES TO GIVING, FOCUS TO GIVING
Dalam suatu hubungan pasti ada memberi dan menerima. Nah, dalam konsep pernikahan Islam, kita diajak untuk mengubah cara pandang kita, kita diajak untuk lebih fokus dalam memberi.

Namun ketika fokus kita bukan Allah, kita akan merasakan kekosongan di dalam hati kita. Kita bangkrut. Jadi fokusnya menerima bukan memberi.
Seperti pengemis, yang fokus pada menerima saja.
Why? Because you are in need.
Don’t have capacity of giving.

The islamic concept of marriage encourages giving. Focus on giving for the sake of Allah SWT. If you don't focus on Allah SWT, you feel empty. When we do things for our nafs...it focuses on taking. You take and then become disappointed when the person who was supposed to fulfill you, who you thought was so great so hot, when they now are not giving you but wanting to take from you instead, this when you WAKE UP and reality hits after the infatuation phase...

You are empty without Allah SWT, how can you give and sacrifice when you have nothing to offer?
When you enter to marriage relationship, don’t empty.
Orang-orang empty akan berubah menjadi selfish, egonya tinggi.
Don't expect people and ask them to fill your emptiness because they are likely empty too. Go to Allah SWT and when He gives guidance and gives to you...take! Take the guidance so that you can become rich and full!
Kita harus memiliki kekayaan hati ketika memasuki hubungan pernikahan.
Bagaimana caranya?
Isi hati kita dengan Allah.
Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.
Jangan jadi sama-sama menjadi “pengemis”.
Masing-masing harus jadi king dan queen.
Sama-sama mau giving bukan taking.

The more we beg from Allah SWT, the more we are elevated.
The more we beg from the people, the more we are humiliated. 
When you beg from the King by humbling yourself in prayer and du'a, you become rich. When you are rich then you are in a position to give.

Source: Yasmin Mogahed’s Lecture “Get Ready for Your Marriage, not Your Wedding” in Muslim Central Website

Tags: Yasmin Mogahed

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Wah seketika tercerahkan.. Secara belum menikah. Memang kita perlu ilmu dulu sebelum menikah dan menikah menikah itu juga karena Allah, pokonya apa yang kita lakukan, usahankan hanya untuk Allah. Hasilnya nanti bagaimana, Dia yang tahu mana yang terbaik dan waktu terbaik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, iyaa mbak setuju! Gak mudah memang, tapi harus terus diusahakan, apa-apa alasannya karena Allah😌

      Hapus

Langsung ke konten utama