[Tugas Kelas Menulis] Cerpen - Sang Saintis Kecil
Tulisan ini adalah tugas kedua dari Kelas Menulis FLP Banten, membuat cerpen.
Aaah udah lama banget sebenernya gak nulis cerpen, jujur lebih suka nulis non-fiksi sih daripada fiksi gini, hehe. Alhasil sumber inspirasi cerpen ini adalah pengalaman mengajar di Mutbun dan lebih kayak jurnal daripada cerpen, hehe. Katanya salah satu ciri cerpen adalah ada hal-hal yang didramatisir, nah ini tantangan banget buat aku, bagiku susah banget buat mendramatisir sesuatu. Baiklah kita tunggu saja feed-back dari panitia tentang cerpen ini😅
🔍🔍🔍
“Sang
Saintis Kecil”
oleh
Miranti Banyuning Bumi
Hari ini adalah hari pertama anak-anak
kembali ke sekolah. Ketika jam istirahat tiba, beberapa anak kelas 1 tampak
bergerombol di depan pintu ruang sains.
“Wah, itu apa ya?” tanya salah satu anak
yang penasaran.
“Eh,
coba masuk ke dalam, yuk!” ajak anak yang lainnya.
“Hwaaa,
apa itu? Takuttt!” seru seorang anak sambil menunjuk ke arah model kerangka
manusia di ujung ruang sains, lalu dia berlari menjauh.
Itu beberapa ucapan anak-anak baru yang
terdengar oleh Rima, guru sains di sebuah sekolah inklusi. Awal tahun ajaran
baru memang selalu membuat perasaannya campur aduk, antara bersemangat untuk
mengaplikasikan ide-ide baru dan lebih seru, bahagia karena bertemu dengan anak-anak
lagi setelah liburan, serta khawatir akan sikapnya yang perfeksionis dalam
menghadapi anak-anak. Tapi kali ini, dia bertekad untuk mengurangi rasa
kekhawatirannya yang berlebihan, dan menggantikan rasa itu menjadi perasaan
yang lebih menikmati perannya sebagai pendidik.
***
Setelah hari pertama yang diisi dengan
kegiatan “First Day School”
―anak-anak diajak bermain bersama guru untuk membangun suasana kembali
bersekolah― maka keesokan harinya semua warga sekolah berusaha menyesuaikan
diri untuk menjalani rutinitas kembali. Tidak hanya anak-anak yang sebagian
nyawanya mungkin masih berada di tempat-tempat mereka menghabiskan liburan,
tapi juga guru-gurunya, termasuk Rima. Maka dia memutuskan untuk mengawali
kelas dengan kegiatan yang ringan dan menyenangkan, tapi tetap bermakna.
Rima bergegas menuju kelas 5 Basket, pagi
ini dia ingin mengajak anak-anak bermain “Science
Game: Mystery Box”. Dia yakin dari namanya saja pasti membuat rasa
penasaran anak-anak terpancing dan tak sabar untuk mencoba permainan tersebut.
Rima akan meminta mereka menebak benda apa yang ada di dalam kotak, terbayang
beberapa anak pasti akan kaget dengan benda-benda yang telah dia siapkan.
Di tengah perjalanan ke kelas, seorang
anak kelas 1 yang kemaren bergerombol di depan ruang sains berseru pada Rima.
“Ibu… Ibu… Apa yang ibu bawa?” tanyanya
dengan wajah berbinar-binar.
“Oh, ini bahan dan alat untuk belajar
sambil bermain bersama kakak-kakak kelas 5 Basket.” jawab Rima sambil tersenyum
ramah.
“Wah, kakak-kakak lagi belajar apa? Gimana cara bermainnya, Bu? Apakah aku
boleh mencoba juga?” anak tersebut menghujani Rima dengan pertanyaan penuh rasa
ingin tahu.
Sebelum Rima menjawab, salah satu guru
kelas 1 memanggil anak itu.
“Dimi! Dimi, ayo sini wudu, teman-teman kamu
sudah mulai salat duha di kelas.”
“Iyaaa.” sahut Dimi sambil berlari ke
tempat wudu di samping kelasnya.
Oh
namanya Dimi, batin Rima.
***
Ternyata apa yang dipikirkan Rima salah,
permainan yang dia siapkan tidak hanya seru tapi sangat seru dan berhasilkan
memancing semangat belajar anak-anak. Bahkan meskipun di awal, Rima berniat
belum memulai materi sains di hari itu, tapi karena sikap antusias anak-anak akhirnya
dia memutuskan untuk mengajak mereka menghubungkan kesimpulan permainan dengan
materi yang akan dipelajari.
Masih ada 1 kelas lagi yang akan belajar
bersamanya. Untungnya setelah waktu makan siang, jadi Rima bisa mengisi
energinya dengan makan siang, salat Zuhur, dan istirahat sejenak. Dalam
perjalanan kembali ke ruang sains, Rima kembali berpapasan dengan Dimi.
“Ibu…! Tadi aku salat dulu, terus belajar
di kelas.” katanya sambil melirik barang-barang yang Rima bawa.
“O, iya. Dimi masih penasaran ya sama
barang-barang yang ibu bawa?” tanya Rima.
“Hah?
Koq, ibu tahu nama aku?” balas Dimi
dengan ekspresi kagetnya yang lucu.
“Hehe, iya tahu donk.”
“Kalo ibu, siapa namanya?”
“Ibu Rima.” jawabnya dengan seulas senyum.
“Oh, Ibu Rima… Ibu mengajar apa?”
“Mengajar sains, Dimi.”
“Wah SAINS! Kapan Dimi bisa belajar sains
sama Bu Rima?” tanya Dimi dengan ekspresi yang sangat bersemangat.
“Hmmm, kira-kira kapan ya…” balas Rima
dengan niat memancing Dimi untuk bertanya lagi dan menemukan jawabannya
sendiri.
“Ibu mengajar level berapa?”
“Level 5 dan 6.”
“Yah…
Masih lama donk.” jawab Dimi dengan
wajah kecewa.
“Hehe, gak
akan kerasa lama koq Dimi, pelajaran
di level 1-4 juga seru-seru koq, juga
bisa belajar sambil bermain, apalagi saat level 1. Tadi seru kan belajar di kelasnya?”
“Iya seru, tapi…”
Jawaban Dimi dipotong oleh panggilan guru
kelasnya.
“Dimiii! Ayo sini baris, Nak. Kita mau ke
kantin.”
“Iya!” balas Dimi sambil ikut berteriak.
“Bye,
Bu Rima!” ucap Dimi dengan wajah bahagia khas anak-anak.
“Bye,
Dimi!” sahut Rima sambil tersenyum lebar karena tertular antusiasme Dimi.
Aaah
Dimi… Melihat antusiasme kamu, Nak, ibu juga gak sabar jadinya mau ngajar kamu,
gumam Rima.
***
Jum’at sore, Rima memutuskan untuk menata
ulang ruangannya ―ruangan berukuran 10 x 5 meter yang biasa digunakan oleh
anak-anak untuk berekperimen― tampak membosankan di matanya. Dia membutuhkan
suasana baru untuk memperbarui semangatnya karena jika tidak mengajar di kelas
maka ia akan bekerja di ruangan ini. Ya, ruangan tersebut adalah laboratorium
sains yang juga sekaligus ruang guru sains. Ada berbagai macam barang di sana,
dari peralatan laboratorium, buku-buku, alat tulis, hingga alat peraga sains.
Karena minggu itu masih minggu awal semester, jadi ritmenya masih santai, Rima
bisa mengerjakan hal lain seperti aktivitasnya sore itu.
Tiba-tiba ada kepala kecil yang melongok
dari salah satu jendela. Sepertinya rasa penasaran anak itu membuatnya
berkunjung ke sini. Beda dengan anak level 1 pada umumnya, yang ketakutan dan
berteriak saat melihat Mr. Skeleton ―model rangka di ruang sains―, anak ini
malah tertarik dan penasaran untuk mendekati.
"Assalamuala'ikum,
Bu Rima," sapanya sambil melihat sekilas pada Mr. Skeleton.
Aaah
anak-anak zaman sekarang memang berbeda ya dengan anak-anak zamanku dulu,
batin Rima. Mereka tampak begitu percaya
diri dan mengikuti intuisi rasa ingin tahunya ketika melihat sesuatu yang baru
dan unik.
"Wa'alaikumsalam,
Dimi" balas Rima sambil tersenyum geli melihat tingkah Dimi yang takut-takut
dan penuh rasa ingin tahu.
Lalu tanpa ditanya apa yang ingin
dilakukannya di sini, Dimi langsung menunjuk salah satu alat peraga sains di
atas lemari yang menarik perhatiannya.
"Itu planet-planet ya, Bu?"
tanyanya dengan mata berbinar.
"Iya, itu model berbagai macam
planet."
"Wah! Tolong ambilkan, Bu. Mau
lihat..." pintanya sambil menunjukkan jejeran gigi-gigi kecilnya yang
putih dan ada yang baru lepas.
"Oke, sebentar ya..." balas Rima
sambil menahan tawa karena melihat gigi Dimi yang belum lengkap.
Setelah meletakkan alat peraga tersebut di
hadapan Dimi, mata anak kecil itu tampak lebih berbinar.
"Dimi, apakah kamu tahu nama planet-planet
ini?"
"Iya, tahu." jawabnya mantap.
"Coba Dimi tolong sebutkan
ya..."
"Merkurius, Venus, Bumi, Mars,
Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus!" lagi-lagi Dimi menjawab dengan
percaya diri.
"Dan...?"
"Udah
itu aja, Bu."
"Tapi koq kalau di model ada satu planet lagi ya..."
"Pluto mah udah gak termasuk
planet lagi, Pluto sekarang termasuk ke kelompok planet kerdil."
Wah,
keren nih wawasannya! Masih
kelas 1 lho, gimana nanti ketika dia semakin naik tingkat, pikir Rima.
"Iya Dimi, benar! Pluto udah gak termasuk planet lagi, ini model
tata suryanya yang model lama. Nah, kalo yang baru, yang ini..." ujar Rima
sambil menurunkan alat peraga tata surya yang lain.
Kemudian sore itu Rima lanjutkan dengan
mengajak Dimi ngobrol tentang tata
surya.
***
Jum’at depan, Dimi datang lagi. Kali ini
pertanyaannya setelah mengucapkan salam adalah…
"Hari ini kakak-kakak level 5 dan 6
belajar apa, Bu?"
Wow,
Dimi keinginan belajarnya kuat sekali ya!
Rima pun menjawab, "Hari ini
kakak-kakak level 6 melakukan eksperimen menanam rimpang, Dimi."
"Wah, Dimi mau!" teriak Dimi
dengan tatapan penuh harap.
"Mau apa, Dimi?"
"Mau juga menanam."
"Hmm,
memang Dimi tahu rimpang itu apa?"
Wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir
keras.
Rima lalu mengajaknya mengamati beberapa
rimpang yang ada di ruang sains.
"Sini Dimi, ayo kita lihat-lihat
dulu."
"Wah!" serunya ketika melihat
Rima membawa berbagai macam rimpang di dalam wadah yang terbuat dari rotan.
"Dimi tahu ini apa?" tanya Rima
sambil menunjukkan salah satu rimpang.
Lagi-lagi wajah Dimi menunjukkan ekspresi
berpikir dengan serius.
"Sini Dimi, coba cium yang ini
ya." ucap Rima sambil melukai permukaan salah satu rimpang.
“Hmmm…” Dimi menghirup aroma yang keluar
dari kulit rimpang tersebut.
“Dimi sudah tahu ini apa? Yang biasa
dibuat untuk minuman gitu...”
“Jahe!” jawab Dimi sambil meloncat
gembira.
“Iya benar, Dimi!” Rima menanggapi jawaban
Dimi dengan tatapan bangga.
“Oke… Kalau yang ini Dimi tahu tidak?”
“Hmmm,
apa ya…”
“Coba lihat lebih dekat, Dimi. Kalau yang
ini warnanya kuning oranye gitu…" kata Rima sambil mengoleskan cairan
rimpang tersebut ke kulit tangan Dimi.
Dimi memperhatikan tangannya yang menjadi
kuning lalu menhirup aromanya.
“Dimi pernah melihat ibunya Dimi
menggunakan ini saat memasak kah?”
“Emmm...”
“Ini digunakan untuk membuat nasi menjadi
warna kuning, Dimi.”
“Oooh”
“Dimi ingat?”
“Apa ya...”
“Hehehe, sepertinya Dimi lupa ya… Ini
namanya kunyit, Dimi.”
“Oh iya! Dimi suka makan nasi kuning.”
jawab Dimi sambil memejamkan mata seolah-olah sedang menikmati nasi kuning.
“Yuk, Dimi jadi mau menanam?”
“Iya, iya, mau!” balas Dimi sambil
meloncat-loncat.
“Dimi mau menanam apa?”
“Yang ini!” jawab Dimi sambil menunjuk
rimpanga jahe.
“Oke, yuk kita bawa keluar.”
Sebelum menanam, Rima menjelaskan tata
cara menanam terlebih dahulu. Dimi menyimak sambil mempraktikkan tahap
satu-per-satu.
“Sudah selesai!" teriaknya dengan
wajah bahagia.
“Iya, selesai, Alhamdulillaah."
“Dimi, tahu tidak setelah selesai menanam,
apa yang harus kita lakukan agar rimpang bisa tumbuh dengan baik?”
“Disiram dan diberi pupuk!”
“Sip
benar, ada lagi tidak?”
“Apa yaa...”
“Harus diajak ngobrol Dimi.”
“Oh, masa, Bu?”
“Iya. Ibu pernah membaca artikel
penelitian gitu. Kalau kita mengajak
tanaman ngobrol, dengan menggunakan
kata-kata yang baik, juga mendo'akannya, insya
Allah tanamannya juga akan senang seperti yang menanam lalu bisa tumbuh
dengan baik.”
"Wah, Dimi mau mengajak tanaman Dimi ngobrol! Jahe... cepat tumbuh tinggi
ya..." Kemudian dia berdo’a, "Ya Allah..., semoga jahe Dimi tumbuh
dengan baik. Aamiin."
Alhamdulillaah. Benar ya, belajar dan bernalar adalah salah
satu fitrah anak, batin Rima. Akhirnya sejak saat itu Dimi rutin berkunjung
ke ruang sains. Tanpa harus menunggu sampai kelas 5 atau 6, Dimi bisa belajar
bersama guru yang menarik perhatiannya, Ibu Rima. Dimi belajar sesuai apa yang
ia sukai, sains!
***
“Bu Rima!” panggil seorang guru dari arah
musala.
“Oh, Bu Yustika, kenapa Bu?” balas Rima
sambil berjalan ke arah ibunya Dimi.
“Emm,
mengenai Dimi, maaf ya kalau suka ngerepotin
karena selalu ke ruang sains.”
“Hehehe, tidak apa-apa koq, Bu. Saya senang karena jadi ada
yang menemani, gak hanya ditemenin mulu sama Mr. Skeleton.”
“Aah Bu Rima bisa saja bercandanya, hehe.
Dimi itu kalau setiap habis dari ruang sains, selalu semangat cerita habis
ngapain aja di sana. Makasih ya, Bu.
Dimi memang suka banget sama sains. Kalo di rumah juga gitu, suka nyobain macem-macem, biasanya ayahnya
yang menemani Dimi. Lalu karena bisa ke ruang sains setelah jam sekolah, Dimi
jadi semakin bersemangat mencoba berbagai eksperimen dan membaca buku dengan
tema sains loh di rumah. Saya senang banget, bersyukur, Alhamdulillaah.”
“Alhamdulillaah,
saya ikut senang, Bu.” jawab Rima dengan terharu.
Aaah Dimi… Salah satu sumber
kebahagiaan seorang guru adalah melihat semangat belajar dari anak didiknya
seperti yang kamu tunjukkan pada ibu. Ibu bersyukur bukan hanya karena bisa
menjadi teman belajar kamu di luar jam sekolah, tapi juga ibu bisa belajar
banyak dari kamu. Benar ternyata kata Om Albert Einstein: “Every child is a
scientist.” bisik Rima pada dirinya sendiri.
🔍🔍🔍
Salam literasi!
Miranti Banyuning Bumi
0 Komentar