What I learned from “The Land of Five Towers – Book by A. Fuadi”


Beberapa ciri buku bagus menurutku adalah:
  • Ketika mulai membaca suatu buku maka buku tersebut sulit untuk diletakkan, lembar-lembar berikutnya selalu membuat penasaran.
  • Ketika sudah hampir halaman terakhir, muncul perasaan “yaaah koq sudah mau habis, aaah tidak! Kalo begitu diperlambat dulu bacanya.”, jadi semacam paradox antara mau cepat selesai karena penasaran dan tidak mau cepat selesai karena tidak mau move on dari keasyikan membaca buku tersebut.
  • Ada nilai-nilai kehidupan, kebijaksaan dan kebaikan yang disampaikan dengan menyentuh dalam rangkaian kata yang indah, tidak menggurui tapi jleb, sukses membuat jiwa ini melakukan refleksi tentang kehidupan yang dialami sendiri, yang disadari atau tidak sebuah buku ternyata bisa mengubah diri.
  • Ketika sudah selesai membaca, lalu diletakkan di rak buku, akan ada masa dimana diri ini kangen (butuh) beberapa kalimat dari buku tersebut, ada beberapa halaman yang benar-benar membekas di hati dan pikiran, maka bergeraklah tangan ini untuk mengambil buku tersebut dan dibaca lagi beberapa bagian.
  • Saat sedang membaca, selain pikiran sibuk mengembara sesuai alur cerita, hati sibuk merenungkan banyak hal yang berkaitan dengan kisah di buku dihubungkan dengan kisah hidup diri sendiri, tangan pun juga tak kalah sibuk memberi tanda pada quote di buku (ada beberapa yang dicatat di notes, beberapa juga langsung gatel untuk di-share di medsos, hehe, efek zaman now). Intinya ingin berbagi rasa yang disebabkan kata-kata di dalam buku tersebut.
Bagiku kelima ciri tersebut ada di buku yang baru saja kuselesaikan:
The Land of Five Towers - A. Fuadi

Cerita sedikit tentang “Kenapa (baru) membaca buku ini?”
Padahal buku ini sudah termasuk jajaran best seller dari zaman kuliah, dan beberapa teman dekat saat kuliah baca buku ini –jadi penambah semangat belajar katanya–, dan beberapa teman pun merekomendasikan ini dibaca terutama saat sedang menuntut ilmu!
Hmmm, kalau diingat-ingat sepertinya saat itu aku sedang asyik membaca buku yang lain atau kemungkinan lainnya lagi riweuh dengan rentetan tugas kuliah dan laporan praktikum di tingkat 3 yang rasanya tiada henti, heu.

Kemudian keinginan untuk membaca buku itu pun terlupakan dengan adanya buku-buku lain dan masa-masa tingkat akhir.
Nah keinginan untuk membaca buku ini lahir kembali ketika di grup menulis yang aku ikuti (#ODOPfor99days) mengundang sang penulis untuk berbagi bersama kami di kulwap.

Saat kulwap, beberapa jawaban dijawab lewat suara yang direkam, tidak semua ditulis, dan entah kenapa aku merasa suka dengan cara beliau menjawab dan menjelaskan sesuatu, langsung ke intinya, kemungkinan karena latar belakang beliau yang seorang jurnalis. Dan kata-kata penutup di kulwap ngena banget:
“Temen-temen semua, intinya menurut saya menulis itu adalah perjalanan ke dalam “inner journey”. Perjalanan ke dalam diri kita menemukan nawaitu kita, menemukan niat kita, alasan kita menulis. Lalu kedua menemukan ‘what’ kita atau apa tema atau hal yang menggetarkan jiwa kita untuk ditulis. Kalo sudah ketemu sebuah niat yang kuat lalu ketemu sebuah tema yang membuat kita tidak akan pernah bosan membicarakan tema itu tiga hari tiga malam, itu adalah modal yang luar biasa untuk menulis. Menulis itu akan penuh energi dan penuh dengan perasaan. Lalu lakukan riset, ‘how’-nya lakukan riset. Lalu terakhir menulislah dengan sepenuh hati dan dimulailah dari sekarang. Jadi intinya menulislah dari hati karena akan sampai ke hati pembaca. Selamat menulis yaa.”
Resume kulwap bedah buku #ODOPfor99days bersama A. Fuadi, penulis “Anak Rantau” ada di sini.

Maka di awal tahun 2018, aku meluncur ke no kontak (WA: 0812 8019 7318 atau bisa juga via email ke toko@negeri5menara.com) yang melayani pembelian buku-buku A. Fuadi.

Ternyata oh ternyata, buku 5 menara ini baru saja berganti cover jadi harganya naik. Jika dibandingkan dengan yang versi english: the Land of Five Towers, yang versi english lebih murah, beda 10ribu donk, lumayan. Maka akhirnya aku beli yang versi english saja, sambil menambah kosa kata.


Saat memulai membaca buku ini, mataku langsung terpaku pada syair Imam Syafi’i:

Clever and civilized men will not stay home
Leave your homeland and explore foreign fields
Go out! You shall find replacement for those you have left
Give your all, the sweetness of life will be tasted after the struggle
I have seen that standing water stagnates
If it flows, it is pure, if it does not, it will become murky
If the lion doesn’t leave his den, he will not eat
If the arrow doesn’t leave the bow, it will not strike
If the sun stands still in its orbit
Man will tire of it
Gold dust is merely soil before excavated
Aloewood is just ordinary wood in the forest

Rangkaian kata-kata di atas benar-benar seperti siraman air yang sejuk bagi benih-benih keinginan untuk merantau (menjelajah), ada janji bukti nyata yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i bagi siapapun yang memiliki keinginan untuk mengeskplor bumi di luar kaki ini berpijak, keluarlah dari negeri halamanmu untuk berjuang lalu merasakan manisnya hidup!

🌱🌱🌱
Buku ini menceritakan tentang Alif, seorang anak berdarah Minang, yang memiliki cita-cita setelah menyelesaikan madrasah akan melanjutkan sekolah di SMA Negeri di Bukittinggi, sekolah favorit tentunya. Kemudian ia pun juga berencana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi terbaik di Indonesia, Universitas Indonesia atau Institut Teknologi Bandung, kemudian mengikuti jejak Pak Habibie yang bersekolah di Jerman.

Tapi ternyata Amak, sebutan untuk “Ibu” bagi orang Minang, memiliki rencana lain untuk Alif. Amak ingin Alif melanjutkan ke sekolah berbasis Islam lagi. Amak tahu bahwa Alif cerdas dan Amak ingin kecerdasan Alif digunakan untuk kepentingan umat, Amak ingin Alif mendedikasikan dirinya belajar agama lebih dalam agar nantinya seperti Buya Hamka. Selain itu Amak ingin membuktikan bahwa anak-anak yang belajar di sekolah Islam bukanlah anak-anak ‘nakal’ yang statusnya tidak bisa sekolah negeri, Amak memiliki niat baik untuk meluruskan itu.

Maka di sinilah muncul konflik batin dalam diri Alif, ia yang sangat ingin melanjutkan ke sekolah negeri dengan mimpi-mimpi lingkungan belajar yang terbaik berbenturan dengan keinginan Amak yang ingin Allif melanjutkan ke sekolah berbasis Islam. Beberapa hari Alif mengunci diri di kamar, hingga suatu hari datang sepucuk surat dari pamannya yang sedang bersekolah di Mesir, Timur Tengah. Pamannya bercerita tentang saat di Mesir ia memiliki banyak teman yang berasal dari pesantren di daerah Jawa Timur, teman-temannya itu sangat disiplin, lancar berbahasa Arab dan Inggris, dan tinggal di asrama. Kemudian paman menyarankan Alif jika tertarik mungkin bisa mempertimbangkan sekolah itu sebagai pilihan.

Karena surat dari pamannya lah, Alif tiba-tiba mendapat ide untuk menyelesaikan ‘masalah’nya. Ia seketika itu juga memutuskan untuk bersekolah di Madani Pesantren (MP). Ia ingin segera pergi dari rumah karena tidak bisa melanjutkan ke sekolah negeri. Keputusan untuk bersekolah di sekolah Islam yang sebenarnya ia pilih dengan setengah hati.

Ketika mendengar keputusan Alif untuk melanjutkan sekolah ke Madani Pesantren di Jawa Timur, Amak dan Ayah cukup kaget, tapi setelah berdiskusi dan mempertimbangkan beberapa hal akhirnya Amak dan Ayah mengizinkan Alif melanjutkan sekolah ke Madani Pesantren. Maka diantarlah Alif oleh Ayah ke Madani Pesantren dengan bus, perjalanan yang berat, melalui jalan darat yang berkelok-kelok, jalur laut yang penuh ombak dan badai, yang membutuhkan waktu selama 3 hari.

Bagian yang cukup ‘lucu’ adalah saat Alif menyadari bahwa untuk melanjutkan di MP, setiap anak harus menjalani tes terlebih dahulu *panic mode ON*. Maka dengan sisa-sisa tenaga dan sedikit waktu ia pun menyiapkan diri sesampainya di Madani Pesantren. Alhamdulillaah karena izin Allah, do’a kedua ortu, dan usaha di detik-detik terakhir, Alif pun lulus tes seleksi masuk Madani Pesantren.

Bagiku bagian paling menarik dari buku ini adalah kehidupan Alif di pesantren, jujur aku baru tahu bahwa bersekolah di pesantren bisa semenarik itu, entah benar-benar menarik (dengan disiplin yang sangat tinggi dan jadwal yang padat merayap kecuali saat liburan) atau jadi menarik karena kisah ini dalam bentuk novel yang ditulis oleh A. Fuadi, hehehe.

{SPOILER} Beberapa kisah kehidupan pesantren Alif yang menarik bagiku adalah:

1. Semua anak tinggal di asrama dari berbagai wilayah Indonesia (sengaja tidak ada yang sedaerah ditempatkan di ruangan yang sama, tujuannya agar saling mengenal antardaerah), aaah bagiku ini selalu membuat diri ini penasaran, tinggal bersama orang-orang yang berbeda daerah. Karena sesungguhnya walaupun aku merantau ke Bandung, tapi di Bandung masih ada beberapa saudara, jadi tidak benar-benar jauh dari keluarga. Selain itu aku belum pernah merasakan ngekost sendirian, awal di Bandung, tinggal sama Bude, lalu sama Nenek (almh), lalu ngontrak berdua bersama adik perempuan, dan terakhir sekarang ngontrak bertiga bersama adik perempuan dan laki-laki. Literally, tidak pernah jauh dari keluarga, hehe.

2. Ada berbagai kegiatan menarik selain kegiatan keagamaan, seperti sport, art (music, painting, graphic design, theater), and scout. Jadi di sana kegiatan non-keagamaan juga sangat difasilitasi, ada waktu khusus bagi pelajar untuk beraktivitas non-agama sesuai dengan minatnya. Sesungguhnya pendidikan di MP tidak membedakan antara pendidikan agama dengan pendidikan non-agama. Semua pendidikan adalah suatu kesatuan dan saling berhubungan. Agama dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Di MP, agama adalah oksigen, ada dimana-mana.

3. Cara belajar bahasa Arab dan Inggris. Ternyata di Madani Pesantren (yang terinspirasi dari kisah penulis saat bersekolah di Pesantren Gontor) bahasa sehari-harinya adalah bahasa Arab atau Inggris, kecuali bagi pelajar tingkat pertama. Menarik! Karena pihak pesantren yakin bahwa untuk menjelajah dunia, dua bahasa ini adalah rajanya. Kebiasaan yang dibangun adalah setiap sholat shubuh setiap hari kecuali hari Jum’at (hari libur), para pelajar dikumpulkan selama beberapa menit lalu diharuskan bercakap-cakap dalam bahasa Arab dan Inggris, akan ada kakak kelas yang berkeliling mengawasi dan membimbing, jadi ya mau ga mau harus menyiapkan diri untuk ‘bercakap-cakap’ setiap harinya. Selain itu 3x seminggu ada latihan berpidato dalam bahasa Arab-Inggris-Indonesia, wow!

4. Konsekuensi ketika melakukan pelanggaran. Aturan yang diterapkan di MP berupa aturan tak tertulis, atau disebut dengan qanun. Mengapa (sengaja) tidak ditulis? Agar aturan itu bukan sekedar dibaca lalu dilupakan tak diimplementasikan, tapi agar tertulis lekat di hati, pikiran, dan gerak-gerik setiap pelajar. Yang tak kalah menarik adalah konsekuansi yang diberlakukan apabila ada yang melanggar aturan. Pelanggar akan diberi tugas menjadi jasus (Arabic for spies). Yup! Menjadi mata-mata yang bertugas mencatat pelanggaran yang terjadi di MP, secara tidak langsung ini cara yang jitu untuk membuat pelajar lain lebih berhati-hati dalam mentaati aturan karena bisa jadi ada mata-mata dimana-mana, hehe.

5. Pertemanan “Fellowship of the Manara, yang terdiri dari Alif, Baso, Dulmajid, Raja, Said, dan Atang. Bermula dari kebiasaan mereka yang saling berbagi mimpi dan belajar bareng kemudian mencari tempat yang cocok untuk berkumpul tanpa harus berlari-lari apabila waktu sholat tiba. Maka tercetuslah lokasi di bawah menara yang cukup adem dan tidak terlalu mencolok untuk berkumpul. Ternyata benar ya, ketika kita jauh dari keluarga, Allah akan mengantikan orang-orang baik untuk menjadi keluarga kita. Yang meskipun banyak perbedaan tapi saling melengkapi dan saling memahami.

6. Masa-masa ujian yang diberi judul “the Great Festival. Kenapa disebut seperti itu? Karena dimana-mana ditempel leaflet, poster, dan banner yang intinya memberi semangat bagi para pelajar bahwa masa-masa ujian akan segera tiba! “Ma’an najah!” (Good luck on exams!). Menjelang ujian, beberapa kegiatan diubah: kegiatan di masjid dipersingkat, waktu makan lebih fleksibel, jam malam diperpanjang untuk belajar, jadwal pidato dan pramuka ditiadakan. You can feel the exam in the air. Dimana-mana terlihat pada membawa buku, dipojok-pojok ruangan hidup diskusi dan belajar bersama, yang biasanya santaipun jadi ikut terbawa-bawa yang rajin, kalau untuk yang rajin yaaa semakin rajin dan intens. Ujian yang dilaksanakan ternyata bukan hanya ujian tertulis tapi juga ujian lisan, masya Allah!

7. Bulis lail (night patrol). Ini adalah program yang menarik yang dilakukan oleh MP, menjaga keamanan MP sekaligus mendidik para pelajarnya. Karena area MP yang sangat luas, berhektar-hektar di daerah pedesaan, dan tentu ada benda-benda berharga yang menarik perhatian (dari komputer sampai sapi), maka akan menjadi tugas besar apabila harus menyewa keamanan dari luar. Maka cara yang dilakukan adalah memberi tugas kepada para pelajar tingkat atas secara bergantian untuk berjaga di perbatasan area MP. Tapi tentu dengan didampingi kelompok yang ahli (yang bisa bela diri atau sejenisnya) yang disebut MP’s security.

8. Ketulusan dalam belajar. Ternyata ini yang dijunjung dan selalu diingatkan dari Kiai ke para pelajar, untuk memiliki ketulusan. Ketulusan untuk menerima ilmu dan ketulusan untuk memberikan ilmu. Dengan adanya ketulusan insya Allah ilmu dapat diserap lebih mudah. Bahkan saat persiapan menjelang ujian tingkat akhir, semua pelajar tingkat akhir pindah ke aula, semua kegiatan dari tidur sampai tidur lagi berpusat di aula yang dilakukan selama 1 bulan untuk mempersiapakan exam on exam. Para Kiai diminta untuk berkeliling di aula selama masa itu, untuk bersiap ditanya oleh pelajar yang butuh bantuan dalam memahami pelajaran. Masya Allah! Apalagi kalau bukan ketulusan yang bisa membuat para Kiai harus siap sedia mendapat pertanyaan tak terduga materi pelajaran selama 3 tahun, jika masih belum jelas para Kiai harus siap sedia mengulang, jika mendapat pertanyaan yang sama tentu para Kiai harus mengulang lagi.

9. Kebiasaan menulis jurnal. Oooh ternyata di sini rahasianya (rahasia A. Fuadi kurasa), Alif menceritakan bahwa kebiasaannya menulis jurnal menurun dari Amaknya. Ia pernah melihat Amaknya menulis agenda yang berisi berbagai macam hal, dari catatan kejadian kehidupan yang penting sampai catatan belajar (kajian Islam), catatan pemasukan dan pengeluaran, daftar belanja, lengkap ada di agenda tersebut! Alif mengisi jurnalnya dengan kesan pada guru dan teman, kliping koran tentang film dan sepakbola, rangkuman belajar, dan gambar kartun buatannya. Bahkan ia pernah bela-belain membeli jurnal baru saat hujan deras karena ada hal menarik yang harus ia tuliskan sedangkan jurnalnya habis di tengah ia menulis. Luar biasa! Addicted to journal writing!

Oiya seperti yang kutulis di awal, ketika suatu buku termasuk buku bagus, maka akan ada banyak kata yang aku highlight, menjadi quote yang menginspirasi dan membuat diri ini berkontemplasi, beberapa di antaranya adalah:

1. Man jadda wajada (He who gives his all will surely succeed)
I believe that God and his nature will help me, because the compensation for giving one’s best is only success. Bismillah.

2. Man shabara zhafira (He who is patient will be fortunate)
Don’t worry about today’s suffering, just live on and see what will happen next. Because what we aim for is not for now, but there is something greater and more principle, to be a man who has found his mission in life.
The mission in question is when you do something positive of high quality and at the same time enjoy the process. If you feel good about doing something with minimal effort, maybe that is your God-given mission in life.
What makes successful people different than ordinary people? Going the extra mile (Never settle for average, give more initiative, time, effort, determination and so on than others) and never let yourself be influenced by elements (anyone, anything, or any atmosphere) outside yourself, because you are the masters and rulers of your own heart.

3. Don’t hope the world will change, but we have to be the change.
Remember, Allah said He will not change people’s fate, until the people themselves make the change. If you want something and want to be something, don’t just dream and pray, but make it, change it, do it here! And now!

4. Knowledge is like nur, a ray of light.
Light cannot come and be in a dark place. Because of that, clean your hearts and your minds, so the light can come, touch, and brighten your souls. The Prophet himself told us to seek knowledge from infanthood until the eve of our expiration. Uthlub ilma minal mahdi ila lahdi (Seek knowledge from the cradle to the grave).

5. What made you come back to MP? I personally have decided to donate to MP. And the item I donating is myself.
“If we donate land to the school, the land is forever in the hands for the school, for the sake of the school and its community. And for me, since I don’t have land, what I am donating is myself.”
“Meaning?”
“Everything. My time, thoughts, and energy are only for MP. Not for my own self-interests, not of hope for worldly rewards, not for salary or home, not for anything. It is all sincere worship and devotion to Allah. Doesn’t it say in Al-Qur’an that humans were created to serve?”

6. Secure knowledge by recording it. -Sayyida Ali-
The recording process burns new vocabulary into our heads. Don’t force memorization. If you finished it once, read it again, from start to finish. Then do it again, but this time, take note of each vocabulary word that is often used. Then write it in a notebook. Without a doubt, the words noted in notebook will not be forgotten.

7. Never fear and bow down to anyone but Allah. Because what limits us is only land and sky.

8. Menara six was no longer there, but he wasn’t lost or fallen. Just growing in another place.

9. Man thalabal ula sahiral layali (He who wants to obtain nobility, will work late into the night.

Setelah menyelesaikan buku ini, aku merasa mendapat pencerahan mengapa Allah memberi kesempatan membaca buku ini baru sekarang, ada beberapa bagian kehidupanku yang mirip dengan kisah Alif. Dan Allah memberikan jawabannya melalui buku ini.
🌸Untuk memenuhi permintaan orangtua (meskipun awalnya tidak sesuai dengan kata hatimu -passion-, selama tidak melanggar syariat) dan membahagiakan keduanya, karena ridho Allah bergantung pada ridho orangtua.🌸

Selain itu, buku ini juga mengingatkanku untuk meluruskan niat dalam belajar, mencari ilmu itu karena Allah, untuk mendekatkan diri pada-Nya, untuk mendapatkan balasan surga-Nya. Aaah dan ‘gara-gara’ buku ini pula aku merasa sangat tertinggal dalam mencari ilmu agama, hiks. Iriii deh sama kehidupan pesantren yang ternyata ‘menarik’ dan bermakna, ada keseimbangan antara ilmu dunia dan akhirat.

Dari buku ini aku jadi sangat penasaran dengan biografi Imam Syafi’i.

Jadi teringat pernah baca statusnya ust. Salim A. Fillah yang ini:
Kebaikan anak (ust. Muhammad Fauzil Adhim)
“Boleh jadi apa yang disukai orangtua bukanlah apa yang paling diminati anak, tetapi mereka ringan melakukannya disebabkan besarnya kasih sayang kepada orangtua.”
Lalu mengapa ia memilih xxx? Karena sangat ingin membahagiakan orangtua.
Bukan itu bakatnya, bukan itu pula passion-nya, tetapi tak ada rasa berat dalam dirinya dan tidak pula ia terpaksa untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Bukankah itu pula yang kita dapati pada Imam Syafi’i?

Insya Allah sedang menetapkan hati untuk mengambil keputusan (besar) di tahun ini, semoga Allah menguatkan hati ini, aamiin

Note: buku bacaan lanjutan berdasarkan buku ini adalah buku biografi Imam Syafi’i dan seri selanjutnya dari 5 Menara: Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara.




Bandung, Februari 2018
Miranti Banyuning Bumi



Tags: Book Review

Posting Komentar

0 Komentar

Langsung ke konten utama